Mohon Komentar atau Sarannya Untuk Kemajuan Blog Ini Kedepannya . . . Please Comments and Suggestions for the Advancement This Blog Further. . . Thanks

Rabu, 01 Juni 2011

Bahasa Arab Bahasa Islam

Kemuliaan Bahasa Arab 
Tahukah engkau saudariku, keutamaan bahasa arab sangatlah banyak. Sebagaimana perkataan Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan surat Yusuf ayat 2, yang artinya, “Sesungguhnya Kami telah jadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kalian memikirkan.”
Ia berkata, “Yang demikian itu (bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab) karena bahasa arab adalah bahasa yang paling fasih, jelas, luas dan maknanya lebih mengena lagi cocok untuk jiwa manusia. Oleh karena itu, kitab yang paling mulia (yaitu Al-Qur’an) diturunkan kepada Rasul yang paling mulia (yaitu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam) dengan bahasa yang paling mulia (yaitu bahasa arab), melalui perantara malaikat yang paling mulia (yaitu malaikat Jibril), ditambah kitab inipun diturunkan pada dataran yang paling mulia di atas muka bumi (yaitu tanah Arab), serta awal turunnya pun pada bulan yang paling mulia (yaitu Ramadhan), sehingga Al-Qur’an menjadi sempurna dari segala sisi.” (Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Surat Yusuf)

Bahasa Penduduk Surga                                                                                                             Suatu saat terjadi percakapan di antara seorang ustadz dan seorang pria.
A: Ustadz, katanya bahasa surga itu bahasa arab ya?
B: Katanya begitu pak… tapi haditsnya dho’if.
Tahukah engkau saudariku, memang banyak kita dengar perkataan bahwa bahasa arab adalah bahasa yang digunakan di surga. Namun ternyata tidak ada hadits shahih dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tentang masalah ini sebagaimana dinyatakan Abu Shuhaib al-Karami yang mentahkiq kitab Mukhtashar Hadi al-Arwah karya Ibnu Qayyim Al-Jaujiyyah. Namun banyak atsar salaf yang menguatkan hal ini (bahasa penduduk surga adalah bahasa Arab). Wallahu a’lam bi shawab.

‘Afwan Jiddan                                                                                                 Kalimat yang satu ini, rasanya sudah menjadi sebuah perkataan umum yang merebak dimana-mana. Secara kata perkata, memang terlihat benar, karena ‘afwan berarti maafkan aku, sedangkan jiddan artinya sungguh-sungguh/benar-benar.
Tahukah engkau saudariku, ternyata kalimat ‘afwan jiddan tidak dikenal dalam bahasa arab yang benar. Ini sama seperti seseorang yang belajar bahasa Inggris kemudian mengatakan, “My watch is dead”. Secara kata perkata memang benar, namun secara penggunaan bahasa asalnya, kalimat tersebut bukanlah kalimat yang benar.
Kata ‘afwan itu sendiri sebenarnya sudah merupakan sebuah permintaan maaf yang sangat. Jika dirinci, kata ‘afwan mempunyai kalimat lengkap Asta’fika yang artinya aku benar-benar minta maaf kepadamu. Nah, berarti maksud orang yang mengatakan ‘afwan jiddan bahwa ia minta maaf dengan sungguh-sungguh sebenarnya sudah diwakilkan dengan kata ‘afwan itu sendiri. Adapun kata dalam bahasa arab lainnya yang berarti maaf adalah aasif. Dan untuk kata ini (aasif) tidak terkandung makna permintaan maaf dengan sungguh-sungguh.

4 Nama Nabi                                                                                                           Tahukah engkau saudariku? Ternyata hanya ada 4 Nabi kita (yang disebutkan namanya dalam Al-Qur’an dan Sunnah) yang memiliki nama dari bangsa Arab murni, yaitu nabi kita Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam, Shalih, Syu’aib dan Hud. Adapun nama-nama nabi lainnya merupakan nama ‘ajam (asing). Dan secara kaidah bahasa arab, antara nama asli Arab dan nama asing memberikan konsekuensi yang berbeda, yaitu untuk nama asing dalam penggunaannya tidak boleh diberi tanda tanwin. Masih penasaran? Ayo belajar bahasa arab…

Musyawarah Akbar                                                                                               Kadang aneh terlihat, ketika suatu spanduk dari organisasi Islam kemudian bertuliskan musyawarah akbar. Tahukah engkau saudariku, terdapat kesalahan penerapan kaedah bahasa arab dalam susunan tersebut.
Kata musyawarah (yang berasal dari bahasa arab) merupakan isim muannats (jenis kata feminin). Sedangkan kata akbar merupakan isim mudzakar (jenis kata maskulin). Dalam kaedah bahasa arab, tidak tepat jika memadankan dua kata (yang dinamakan na’at man’ut) dengan kata yang berlainan jenis. Maka yang benar adalah musyawarah kubro. Karena kata kubro merupakan isim muannats. Bingung? Ayo belajar bahasa arab…

Abu dan Ummu                                                                                                 Tahukah engkau saudariku, penggunaan Abu dan Ummu juga dipelajari dalam bahasa arab pada bab ‘Alam (nama). ‘Alam itu sendiri terbagi menjadi tiga bagian. Salah satunya adalah kun-yah. Kun-yah adalah nama yang diawali dengan lafazh Abu dan Ummu, seperti Abu Bakr, Ummu Kultsum dan sebagainya. Biasanya, kata yang digunakan setelah kata Ummu atau Abu adalah nama anak pertama dari sang pemilik nama. Namun, tidak berarti bahwa orang yang belum menikah bahkan anak-anak sekalipun tidak dapat menggunakan nama kun-yah. Sebagaimana Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah memanggil seorang anak kecil dengan nama kun-yah, dalam hadits yang diceritakan oleh Anas radhiallahu ‘anhu,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik akhlaknya. Dan aku memiliki seorang saudara yang biasa dipanggil dengan sebutan Abu ‘Umair. Beliau shallallahu’alaihi wa sallam datang, lalu memanggil: ‘Wahai Abu ‘Umair, apa yang sedang dilakukan oleh si Nughair kecil.’ Sementara anak itu sedang bermain dengannya.” (HR. Bukhari)

Pentingnya Belajar Bahasa Arab                                                                      Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Bahasa arab itu termasuk bagian dari agama, sedangkan mempelajarinya adalah wajib, karena memahami Al-Quran dan As-Sunnah itu wajib. Tidaklah seseorang bisa memahami keduanya kecuali dengan bahasa arab. Dan tidaklah kewajiban itu sempurna kecuali dengannya (mempalajari bahasa arab), maka ia (mempelajari bahasa arab) menjadi wajib. Mempelajari bahasa arab, diantaranya ada yang fardhu ‘ain, dan adakalanya fardhu kifayah.” (Iqtidho, Ibnu Taimiyah 1/527 dikutip dari majalah Al-Furqon)
Tahukah engkau saudariku, dorongan untuk belajar bahasa arab bukan hanya khusus bagi orang-orang di luar negara Arab. Bahkan para salafush sholeh sangat mendorong manusia (bahkan untuk orang Arab itu sendiri) untuk mempelajari bahasa arab.
Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata, “Pelajarilah bahasa arab, sesungguhnya ia bagian dari agama kalian.” (Iqitdha)
‘Umar radhiallahu ‘anhu juga mengingatkan para sahabatnya yang bergaul bersama orang asing untuk tidak melalaikan bahasa arab. Ia menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ari, “Adapun setelah itu, pelajarilah Sunnah dan pelajarilah bahasa arab, i’rablah al-Qur’an karena dia (al-Qur’an) dari Arab.” (Iqtidho, Ibnu Taimiyah, dikutip dari majalah Al-Furqon)
Dari Hasan Al-Bashari, beliau pernah ditanya, “Apa pendapat Anda tentang suatu kaum yang belajar bahasa arab?” Maka beliau menjawab, “Mereka adalah orang yang baik, karena mereka mempelajari agama nabi mereka.” (Mafatihul Arrobiyah, dikutip dari majalah Al-Furqon)
Dari as-Sya’bi, “Ilmu nahwu adalah bagaikan garam pada makanan, yang mana makanan pasti membutuhknanya.” (Hilyah Tholibul ‘Ilmi, dikutip dari majalah Al-Furqon)
الرَّحِيمِ الرَّحْمنِ اللَّهِ بِسْمِ

Empat Jenis ‘Athof dalam Al Qur’an dan Sunnah                                               Pembaca yang semoga dimuliakan Allah subhanahu wa ta’ala pada kesempatan kali ini kita akan kembali mencoba menggali kaidah-kaidah ushul/dasar yang disampaikan para ulama untuk memamahi Al Qur’an dan Sunnah secara benar. Diantara kaidah yang disampaikan oleh para ulama adalah kaidah dalam memahami ‘athof dalam nash syari’at. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyampaikan ada 4 jenis athof dalam Al Qur’an dan sunnah [1],
[1]. Athof Dua Kata Atau Lebih yang Berbeda Maknanya.
Athof jenis ini merupakan athof yang paling tinggi derajatnya karena menggandengkan 2 hal yang berbeda dalam artian makna satu kata (‘athof) tidak sama dengan makna kata yang lain (ma’thuf ‘alaih/kata yang di’athofkan padanya). Contohnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla,
الََّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ
“Dzat Yang Menciptakan langit dan bumi“. (QS. Al Furqon  [25]: 59).

Maka berarti bahwa (السَّمَاوَاتِ) langit bukanlah (الْأَرْضَ) bumi. Contoh yang lain adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
أَنْزَلَ التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ
“Dzat Yang Menurunkan Taurot dan Injil“. (QS: Ali ‘Imron  [3]: 3).
Sehingga (التَّوْرَاةَ) taurot bukanlah (الْإِنْجِيلَ) Injil demikian sebaliknya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahullah mengatakan, ” ‘Athof jenis pertama inilah yang paling banyak (dalam Al Qur’an dan Sunnah pent.)”.
[2]. Athof Dua Atau Lebih yang Memiliki Hubungan Keterkaitan yang Erat.
Contoh ‘athof jenis ke dua ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
“Barangsiapa yang ingkar/kufur terhadap Allah, Malaikat-MalaikatNya, Kitab-KitabNya, Para UtusanNya dan Hari Akhir“. (QS: An Nisa’  [4]: 136).
Maka dengan mengetahui athof jenis ini kita bisa simpulkan bahwa barangsiapa yang ingkar/kufur terhadap Allah maka sungguh ia telah ingkar/kufur kepada kata yang setelahnya yaitu  Malaikat-MalaikatNya, Kitab-KitabNya, Para UtusanNya dan Hari Akhir. Contoh lainnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla,
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِين
“Barangsiapa yang menentang Rosul setelah jelas baginya petunjuk dan mengikuti selain jalan orang-orang mukmin [2]“. (QS: An Nisa’  [4]: 115).
Maka berdasarkan kaidah yang amat agung ini kita dapat mengambil kesimpulan yang amat penting pula bahwa barangsiapa yang menentang Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam (baik itu apa yang beliau perintahkan atau yang beliau larang pent.) maka berarti ia telah keluar jalannya para sahabat rodhiyallahu ‘anhum. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Para ‘ulama mengatakan,
“Barangsiapa yang tidak mengkuti jalan para sahabat maka berarti ia telah mengikuti jalan selain mereka, mereka (para ulama) menjadikan ayat ini sebagai dalil bahwa mengikuti jalan beragama para sahabat adalah sebuah perkara wajib dan tidaklah boleh seseorang keluar dari perkara agama yang mereka ijma’/sepakat terhadapnya” [3].
Contoh berharga lainnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Janganlah kalian mencampurkan antara kebenaran dan kebathilan dan menyembunyikan kebenaran padahal kalian telah mengetahuinya”. (QS: Al Baqoroh  [2]: 42).
Dari ayat yang mulia dan kaidah ini maka kita dapat menyimpulkan bahwa barangsiapa yang mencampur adukkan antara kebenaran dan kebathilan maka ia akan menyembunyikan kebenaran sebanding dengan apa yang ia lakukan berupa pencampur adukan antara kebenaran dan kebathilan. Sehingga demikianlah apa yang telah dilakukan oleh ahlu kitab (yahudi dan nashrani) mereka menyembunyikan kebenaran yang datang dari Allah maka pastilah mereka telah menampakkan kebathilan sebanding dengan apa yang mereka sembunyikan berupa kebenaran. Misalnya mereka menggati/menyembunyikan hukum Allah untuk mereka bagi pelaku zina baik yang sudah menikah atau belum adalah dirajam (dilempari dengan batu hingga mati) dengan mencoret-coret wajahnya kemudian di arak keliling perkampungan. Demikian juga barangsiapa yang melakukan bid’ah dan mendakwahkannya maka berarti ia telah menyembunyikan sunnah yang sebanding dengan bid’ah yang ia kerjakan dan dakwahkan, sampai-sampai seorang tabi’in Hasan bin Athiyah mengatakan,
مَا أَحْدَثَ قَوْمٌ بِدْعَةً إِلاََّ رُفِعَ مِثْلُهَا مِنَ السُّنَّةِ
“Tidaklah suatu kaum mengadakan suatu kebid’ahan kecuali akan hilang sunnah (Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam pent.) yang semisal dengan bid’ah tersebut”.[4]
Maka lihatlah wahai saudaraku betapa mengerikannya betapa buruknya bid’ah dan dampaknya di mata generasi utama dalam ummat ini.

[3]. Athof Dua Kata Atau Lebih yang Salah Satunya Merupakan Bagian yang Lain.
Contoh penerapan kaidah ini sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla,
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاَةِ الْوُسْطَى
“Jagalah Sholat Lima Waktu[5] dan Sholat Pertengahan (yaitu sholat Ashar) [6]“. (QS: Al Baqoroh  [2]: 238).
Maka dalam ayat ini Allah athofkan sholat ashar kepada sholat lima waktu bersamaan dengan itu dalam kata-kata sholat ashar telah masuk dalam sholat lima waktu. Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin mengatakan, “Hal tersebut menunjukkan keutamaan sholat ashar dibandingkan sholat yang lain karena Allah sebutkan secara khusus setelah Allah sebutkan secara umum dengan kata sholat lima waktu” [7].
Demikian juga dalam firman Allah Subahanahu wa Ta’ala,
وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّيْنَ مِيثَاقَهُمْ وَمِنْكَ وَمِنْ نُوحٍ وَإِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ
“Ketika Kami (Allah) mengambil perjanjian kalian [8] dari para Nabi, dari dirimu wahai Muhammad, dari Nuh, dari Ibrohim, dari Musa dan dari ‘Isa bin Maryam“. (QS: Al Ahzab  [33]: 7).
Dalam ayat ini Allah sebutkan Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi was sallam, Nabi Nuh, Nabi Ibrohim, Nabi Musa dan Nabi ‘Isa ‘alaihimussalam padahal mereka telah masuk dalam kata-kata para Nabi hal ini menunjukkan keutamaan mereka yang merupakan Rosul Ulul Azmi.
[4]. Athof Dua Kata Atau Lebih Karena Adanya Perbedaan Shifat Keduanya.
Contoh penerapan kaidah ini adalah firman Allah Subahanahu wa Ta’ala,
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى . الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى . وَالََّّذِي قَدَّرَ فَهَدَى . وَالََّذِي أَخْرَجَ الْمَرْعَى
“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tingi. Yang menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaanNya).Yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk. Yang menumbuhkan rumput-rumputan“. (QS: Al A’la  [87]: 1-4).
Maka Robb kita adalah Allah Yang Maha Menciptakan, Yang Maha Meyempurnakan penciptanyaanNya, Yang Maha Menentukan kadar, Yang Maha Memberi petunjuk, dan Yang Maha mengeluarkan rerumputan. Hal ini Allah sebutkan sendiri karena berbedanya shifat yang terkandung di dalamnya [9].
Sebagai penutup kami bawakan contoh real pentingnya memahami kaidah di atas dalam masalah aqidah agar kita tidak salah dalam memahami nash syari’at berupa Al Qur’an dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam. Dalam hal ini kami ambilkan contoh diantara sebab kelirunya muji’ah yang mengatakan amal bukan bagian dari iman, hal ini karena mereka keliru dalam memahami ayat Allah ‘azza wa jalla,
إِنَّ الََّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal sholeh“. (QS: Al Baqoroh  [2]: 277).
Mereka mengatakan bahwa ayat di atas adalah dalil yang menunjukkan bahwa amal badan bukanlah bagian dari iman karena Allah ‘Azza wa Jalla membedakan antara iman dan amal. Maka kita katakan bahwa yang tepat adalah Allah menyebutkan iman dan amal sholeh di sini dengan kata yang berbeda bukanlah menunjukkan bahwa amal bukanlah bagian dari iman [10] namun yang tepat adalah kita katakan bahwa Allah meng’athofkan amal kepada iman dalam jenis athof yang kedua yaitu Athof Dua Atau Lebih yang Memiliki Hubungan Keterkaitan yang Erat dalam artian tidaklah dikatakan seseorang beriman jika tidak punya amalan yang wajib walaupun hanya 1 dan yang ketiga yaitu Athof Dua Kata Atau Lebih yang Salah Satunya Merupakan Bagian yang Lain, dalam artian bahwa iman dan amal sholeh memiliki hubungan yang sangat erat sehinnga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
Tidaklah dapat dibayangkan adanya iman yang wajib di dalam hati bersamaan dengan tidak adanya seluruh amal jawarih/badan“.
Dalil lain yang menunjukkan bahwa amal merupakan bagian dari iman yaitu hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاََّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
Iman itu memiliki tujuh puluh sekian cabang (yang merupakan bagian dari iman), iman yang paling tinggi adalah ucapan Laa Ilaaha Illallah, iman yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan dan malu merupakan bagian dari iman[11].
Maka hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam ini tegas menunjukkan bahwa unsur penyusun iman adalah amal hati, amal lisan dan amal badan. Atau dengan bahasa lain kita katakan bahwa amal merupakan bagian dari iman. Hal ini merupakan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagaimana yang di nukilkan oleh Ibnu Abil Izz Al Hanafiy rohimahullah,
اخْتَلَفَ النَّاسُ فِيْمَا يَقَعَ عَلَيْهِ اسمُالْإِيْمَانِ، اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا: فَذَهَبَ مَالِكٌ وَالشَّافِعِي وَأَحْمَدُ وَاْلأَوْزَاعِي وَإِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْه وَسَائِرُ أَهْلِ الْحَدِيْثِ، وَأَهْلُ الْمَدِيْنَةِ وِأَهْلِ الظََّاهِرِ وَجَمَاعَةٌ مِنَ الْمُتَكَلِّمِيْنَ -: إِلَى أَنَّهُ تَصْدِيْقٌ باِلْجِنَانِ، وَإِقْرَارٌ بِالْلِّسَانِ، وَعَمَلٌ بِالْأَرْكَانِ.
“Manusia (banyak orang) berselisih pendapat mengenai makna lafadz iman dengan perselisihan yang banyak, Imam Malik, Imam Asy Syafi’iy, Imam Ahmad, Al ‘Auza’iy, Ishaq bin Rohawayh, dan seluruh Ahli Hadits, Ahlu (Pendudukpent.) Madinah, Ahli (Mahzabpent.) Dhohiriy, dan sebagian dari Ahli Kalam/filsafat bahwa Iman adalah pembenaran dengan hati, ikrardengan lisan dan amal dengan anggota badan” [12].
Maka lihatlah saudaraku betapa keyakinan/aqidah Ahlus Sunnah dibangun berdasarkan dalil yang kokoh dan pemahaman/cara pengambilan kesimpulan yang benar. Sehingga wajarlah Abul Faroj Ibnul Jauziy rohimahullah menukilkan perkataan Ayyub,
إِنََّ مِنْ سَعَادَةِ الْحَدَثِ وَالْأَعْجَمِيِّ أَنْ يُوَفِّقَهُمَا اللهُ تَعَالَى لِعَالِمٍ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ
“Sesungguhnya diantara kebahagian seorang pemuda dan orang azam/bukan arab adalah Allah tunjukkan kepada mereka berdua seorang yang mengajarkan ilmu diin/agama dari kalangan Ahlu Sunnah[13].
Maka sudahkah kita bersyukur atas nikmat yang besar ini dengan belajar dan mengamalkan ilmu yang kita dapat ??!!
Al Faaqir ilaa Maghfiroti Robbihi,
Aditya Budiman

[1] Tulisan ini kami ringkas dan kami berikan tambahan seperlunya dari Al Iman oleh Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah rohimahullah hal. 138-143, dengan takhrij hadits oleh Amirul Mukminin fil Hadits di zaman ini Al Albani rohimahullah, terbitan Al Maktab Al Islamiy, Beirut.
[2] Ayat ini juga merupakan dalil yang dijadikan oleh para ulama bahwa wajib bagi setiap muslim mengikuti cara beragamanya para sahabat/salaf rodhiyallahu ‘anhum.
[3] Lihat Al Iman oleh Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah rohimahullah hal. 139.
[4] Perkataan beliau ini kami dapatkan dari muhadhoroh Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halabiy hafidzahullah yang berjudul “Ad Du’a wa Atsaruhu” dalam sesi tanya jawab.
[5] IbnuAbbas rodhiyallahu ‘anhu mengatakan “Jagalah wudhunya, ruku’nya, sujudnya, dan hal-hal yang wajib dalam sholat serta waktunya”. [lihat Tanwirul Al Muqbas minTafisri Ibni Abbas hal. 39, Asy Syamilah] termasuk dalam hal ini adalah berjama’ah di mesjid untuk sholat lima waktu sebagaimana ini merupakan pendapat yang benar yaitu sholat lima waktu wajib hukumnya bagi laki-laki yang telah baligh namun pembahasan panjang lebar dalam masalah ini bukan di sini tempatnya –wal ‘ilmu ‘indaallah-.
[6] Lihat sumber di atas.
[7] Lihat Tafsir Surat Al Baqoroh oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah hal. 180/III, terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA.
[8] Yaitu agar menyembah/beribadah hanya kepada Allah semata dan berdakwah kepada manusia agar beribadah hanya kepada Allah semata. [lihat Aisar At Tafasir oleh Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairiy hafidzahullah hal. 187/IV, Terbitan Maktabah Al 'Ulum wal Hikaam, Madinah, KSA.]
[9] Lihat penjelasan untuk memahami hal ini dalam tulisan kami yang berjudul “Sebuah Kaidah Emas [1] dan [2]” di www.alhijroh.co.cc.
[10] Hal ini mereka pahami bahwa semua athof itu menunjukkan kepada adanya perbedaan makna (‘athof jenis pertama dalam tulisan ini)
[11] HR. Bukhori no.9 , Muslim no. 162 dan lafadz ini milik Muslim.
[12] Lihat Syarh Al Aqidah Ath Thohawiyah oleh Ibnu Abil Izz Al Hanafiy rohimahullah dengan tahqiq oleh Syaikh DR. Abdullah bin Abdul Muhsin At Turkiy dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth hal. 505/II, Terbitan Mu’asasah Risalah, Beirut, Lebanon.
[13] Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halabiy hafidzahullah mengatakan “(nukilan ini) dikeluarkan oleh Al Lalikai no. 101″. Lihat Al Muntaqo An Nafis min Talbis Iblis oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halabiy hafidzahullah hal. 34, terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA.

2 komentar:

Fiqri mengatakan...

panjang amat !

Akbar Utama Putra mengatakan...

hahah.,,
maaf copas gan,..

Posting Komentar

Mohon Komentar atau Sarannya
Untuk Kemajuan Blog Ini Kedepannya . . .